Oleh: Muh.
Agus Sulaiman, S.Pd
Salah
satu institusi yang sangat signifikan dalam pembentukan karakter anak
adalah keluarga. Dalam konteks ini mengoptimalkan peran orang tua dalam
"tindak mendidik" adalah hal yang pertama dan utama untuk
diperhatikan sungguh-sungguh bagi peningkatan kualitas karakter anak. Kasih
sayang orang tua terhadap anaknya merupakan kodrati sesuatu hal yang tak
tergantikan. Agama Islam banyak mengungkapakan arti penting keberadaan orang
tua dalam membentuk karakter anak. Sedangkan undang undang sistem pendidikan
nasional (UU SPN) no 20 tahun 2003 lebih mengatur proses pendidikan di lembaga
sekolah, sehingga pendidikan karakter pun oleh penyelengara Negara ini di "titip"
kan di lemabaga tersebut. Sejatinya pembentukan karakter anak atau siswa tidak
bisa hanya mengandalkan lembaga persekolahan semata. Kesehariannya anak
didik berada sekitar 5-7 jam saja di sekolah, selebihnya mereka di
"didik" oleh keluarga, yang cukup signifikan mempengaruhi
perkembangan pembentukan karakter anak atau siswa.
Masyarakat tradisional pada umumnya menitiberatkan pendidikan
anak-anak pada lembaga sekolah saja. Padahal lembaga sekolah memiliki
keterbatasan baik dari sisi efektivitas maupun efisiensi pendidikan, mengingat
unsur-unsur yang ikut membentuk karakter anak terlalu banyak berada di luar
persekolahan. Alhasil, seperti yang kita saksikan dan rasakan sendiri betapa
mutu karakter bangsa belum sesuai harapan. Salah satu bagian penting pembentukan
karakter anak didik itu justru dari proses dan pola hubungan antara orang tua
dan anak di dalam suatu keluarga. Kompetensi mendidik mesti dimiliki orang tua
terutama sang ibu yang secara kodrati memang memilki sifat kasih sayang yang
berguna dalam membentuk karakter putra-putrinya.
Salah satu yang dikembangkan BP-PAUDNI Reg. VI pada tahun 2013
adalah Program Parenting Melalui Pendekatan Tutor Kunjung yang telah
dilaksanakan dan diuji cobakan di Dusun Bonara, Desa Sepa, Kab. Masohi,
MalukuTengah. Gambaran masyarakat disana masih menjunnjung tinggi adat dan
kebiasaan, misalkan dengan mengasingkan ibu hamil, dan tidak hanya ibu hamil
saja bahkan anak perempuan yang baru pertama kali memasuki masa datang bulan
juga diasingkan.
Dengan mengoptimalkan kerjasama melalui kegiatan yang saling
melengkapi "simbiosis mutualistis" antara pihak lembaga PAUD dan keluarga
(orang tua) yang dilakukan secara berkesinambungan dan menjadi agenda rutin.
Pengejawantahan program ini tidak hanya untuk ibu dengan istilah "mothering" tetapi
juga untuk ayah yakni "fathering" serta keduanya yaitu "parenting". Program "parenting" untuk
para orang tua dapat dilakukan oleh lembaga dan dapat dimasukkan sebagai bagian
dari kalender akademik PAUD dengan berbagai cara, salah satunya adalah
kunjungan rumah Home Visited.
Keberadaan tenaga pendidik PAUD perlu diberdayakan dan dimanfaatkan lebih
maksimal untuk memfasilitasi terwujud nyatanya program-program tersebut semisal
menjadi tutor kunjung. Perlu pula dilakukan sosialisasi atau penyadaran
kepada pihak terkait, yaitu khususunya orangtua wali murid bahwa program ini
perlu dan penting diselenggarakan guna menjembatani ketimpangan yang terjadi
tatkala pihak lembaga PAUD "sendirian bertugas" membentuk watak anak
didik. Kita mencermati selama ini di sekolah-sekolah kegiatan mengajar
mendominasi ketimbang "mendidik".
Berdasarkan hasil penelitian Masngudin HMS, diperoleh suatu
kesimpulan bahwa vitalitas pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua
memberikan pengaruh terhadap karakter anak. Keluarga yang represif (selalu
memberikan hukuman) dan otoriter akan cenderung membentuk sifat yang keras,
sehingga anak lebih berpotensi untuk ‘agresif’, atau sebaliknya bagi psikis
mereka yang tidak kuat atas bentuk didikan orang tuanya akan menjadikan sifat
‘lembek’ atau lemah. Ini berbeda dengan bentuk preventif (pemberian nasehat dan
pujian), bahkan pemberian kesempatan bagi anak untuk mencurahkan gagasannya.
Anak akan terbentuk menjadi pribadi yang cenderung dapat menghargai orang lain,
dan berbagai perilaku yang lebih jauh dari bentuk penyimpangan (Istikomah,
2011).
Orang tua yang bijak dalam meletakkan pondasi karakter terhadap
anaknya juga harus kritis dan memiliki wawasan luas dalam menyikapi
perkembangan teknologi informasi sehingga apa yang diketahui oleh anaknya juga
diketahui oleh orang tua. Orang tua yang meletakkan pondasi agama kepada anak
akan mampu menciptakan filter bagi anak dalam memilah hal-hal yang baik. Tentu
saja hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang tua melalui keteladanan yang
selalu tercermin dalam kehidupan keluarga. Hal ini didasari oleh pendapat
Mulyasa (2011) bahwa pada dasarnya karakter itu akan terbentuk jika moral understanding (pemahaman akan kebaikan) diikuti
dengan moral doing (terlatih untuk melakukan), di mana
point kedua ini hanya dapat diperoleh anak melalui pembiasaan yang dilihatnya
dari kedua orang tuanya.